News  

Optimalkan Pembiayaan, Dorong Ketahanan Pangan dan Pertanian Desa

ANTARA FOTO/YUSUF NUGROHO/TOM.

RujukanDesa.com- Dalam rapat kerja Komisi V DPR dengan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Yandri Susanto, pada 7 November 2024, terungkap sebuah kisah sukses dari Desa Kembangbelor, Mojokerto. Desa ini berhasil mengembangkan potensi wisata desanya dengan memanfaatkan dana dari crowdfunding, yang disalurkan melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Keunikan dari model ini adalah warga desa tidak hanya menjadi penerima manfaat dari pengelolaan BUMDes, tetapi juga berperan sebagai pemegang saham atau equity holders, yang mendapatkan dividen antara Rp 1 juta hingga Rp 2 juta per orang berdasarkan kepemilikan saham mereka.

Model pembiayaan ini menunjukkan bagaimana desa dapat berinovasi dalam mencari sumber dana, tidak hanya bergantung pada dana APBDes, APBD, atau APBN. Sebagai gantinya, mereka juga dapat memanfaatkan sumber dana alternatif seperti crowdfunding, polling fund, Corporate Social Responsibility (CSR), atau Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL) dari sektor swasta. Ini adalah bentuk dari creative funding, yang juga telah diterapkan di negara-negara lain seperti India, Kenya, dan Filipina.

Di India, misalnya, platform seperti Rang De dan Kiva telah digunakan untuk mengumpulkan dana dari investor kecil—baik domestik maupun internasional—untuk disalurkan kepada petani melalui lembaga keuangan mikro. Dengan menggunakan model ini, petani bisa mendapatkan modal tanpa beban suku bunga tinggi, menghindari praktik rentenir yang sering menghimpit mereka. Model serupa juga diterapkan di Kenya melalui M-Shwari dan FarmDrive, serta di Filipina dengan Cropital, yang semuanya bertujuan untuk mendukung petani kecil yang kesulitan mengakses kredit perbankan tradisional.

Namun, masalah utama yang dihadapi petani mikro di desa tetap pada akses pembiayaan. Sebagian besar petani kecil di pedesaan masih kesulitan memperoleh modal untuk memenuhi biaya input pertanian yang semakin tinggi. Kondisi ini berpengaruh langsung pada daya saing pertanian nasional, terutama karena biaya produksi yang terus meningkat sementara hasil yang diperoleh tidak sebanding. Misalnya, dalam sektor padi sawah, rasio pendapatan terhadap biaya hanya 0,37, yang berarti setiap Rp 1 yang dikeluarkan untuk biaya produksi hanya menghasilkan Rp 0,37 dalam pendapatan. Demikian pula, untuk padi ladang, rasio tersebut bahkan lebih rendah, yaitu 0,27. Ini menunjukkan bahwa biaya produksi jauh melebihi pendapatan yang diperoleh petani, sehingga mereka seringkali mengalami kerugian.

Untuk mengatasi masalah ini, BUMDes diharapkan bisa menjadi solusi. Konsep yang diterapkan di Desa Kembangbelor, dengan crowdfunding sebagai sumber utama pembiayaan, bisa menjadi contoh bagi desa lainnya untuk menggali potensi lokal dan mengelola dana secara kreatif. Pembiayaan ini bukan hanya untuk sektor wisata desa, tetapi bisa diterapkan juga dalam ketahanan pangan melalui peningkatan usaha pertanian berbasis masyarakat.

Mengadopsi konsep microfinance yang dikembangkan oleh Muhammad Yunus melalui Grameen Bank di Bangladesh, dimana pinjaman diberikan tanpa agunan (non-collateral loan), bisa menjadi alternatif pembiayaan bagi petani kecil di desa. Microfinance dan microcredit yang fokus pada pemberdayaan petani kecil, perempuan, dan kelompok masyarakat marginal, memungkinkan mereka mengakses modal dengan syarat yang lebih ringan, tanpa terperangkap dalam lingkaran hutang dengan rentenir. Grameen Bank, misalnya, sudah berhasil menjangkau lebih dari 6,67 juta orang peminjam, dengan tingkat pengembalian kredit yang sangat tinggi—sehingga model ini terbukti efektif dalam meningkatkan stabilitas ekonomi masyarakat desa.

Di Indonesia, masalah pembiayaan pertanian masih menjadi tantangan besar, terutama bagi petani kecil yang hanya mendapatkan sekitar 5% dari total kredit perbankan yang dialokasikan untuk sektor pertanian. Oleh karena itu, mengadopsi model microfinance dan crowdfunding seperti yang diterapkan di Desa Kembangbelor bisa menjadi solusi untuk meningkatkan inklusi keuangan bagi petani desa. Selain itu, dengan pendekatan social collateral—di mana dukungan sosial antarwarga desa menjadi jaminan pengembalian pinjaman—masyarakat dapat bersama-sama menjaga keberlanjutan pembiayaan tanpa perlu agunan fisik.

Kementerian Desa berharap kisah sukses Desa Kembangbelor bisa menjadi inspirasi dan model yang dapat direplikasi di desa-desa lain di seluruh Indonesia. Quick win program ketahanan pangan desa yang menjadi bagian dari visi Aswa Cita pemerintahan Prabowo, bertujuan untuk memperkuat ketahanan pangan sekaligus meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat desa melalui solusi pembiayaan kreatif dan pemberdayaan BUMDes. Dalam hal ini, keberhasilan desa wisata Kembangbelor bisa menjadi contoh nyata bagaimana kreativitas dalam pendanaan dapat membuka jalan menuju kesejahteraan desa yang lebih mandiri dan berkelanjutan.